The tricky Ramadhan..

The tricky Ramadhan..

Ramadhan belum lagi menginjak pada setengahnya. Suasana khas penuh ibadah masih menyelimutinya. Untuk shalat berjamaah, untuk menyimak kajian-kajian, atau untuk sekedar tidur yang juga dijanjikan pahala padanya. Mengusahakan lebih banyak waktu untuk bersentuhan dengan alQuran. Mengawali setiap laku dengan basmallah. Mencoba meraup lebih banyak pahala, lebih banyak bekal, mumpung murah..

Sebagai orang yang begitu perhitungan, cenderung pelit, saya juga melihat Ramadhan sama dengan kebanyakan mereka. Sebagai peluang, sebagai kesempatan untuk dapat menimbun pahala. Sebagai bekal di kehidupan selanjutnya, atau sekedar sebagai alasan untuk kembali membungkus alQuran dan menyimpannya untuk kembali di buka pada Ramadhan mendatang. Sebagai alasan untuk menyalakan televisi dan kembali menggandrungi berita-berita politik daripada menggerakkan kaki menuju masjid untuk memakmurkannya. Toh, pahala yang saya kumpulkan pada Ramadhan kemarin sudah cukup untuk menjadi bekal menjalani hidup sampai Ramadhan berikutnya.

The tricky Ramadhan..

Saya bukanlah tergolong pada hamba yang berkecukupan iman. Saya lebih tergolong pada mereka yang berusaha ‘lebih pintar’ dari Tuhan dalam hal berhitung, yang memperhitungkan antara pahala dan dosa. Yang hanya mengusahakan agar hasil perhitungan tersebut, setidak-tidaknya lima puluh persen plus satu, untuk kemenangan pahala atas dosa, sehingga surgalah bagi saya. Tergolong pada mereka yang merasa tahu, padahal tidak kecuali sangat sedikit. Tergolong pada mereka yang diberi kepintaran, dan malah kemudian menggunakan kepintarannya itu untuk jeli mencari celah diantara perintah dan laranganNya. Berusaha menemukan luput, dari Sang Maha Sempurna. Jauh dari predikat ahli ibadah. Apalagi ma’rifat. Sufi, Sangat-sangat jauh.

Ramadhan adalah waktu yang tepat bagi mereka yang seperti saya. Cara cepat untuk mendapatkan beberapa persen plus satu, untuk kemudian membalikan keadaan. Sebulan penuh berpeluh dalam ibadah dan upaya menimbun pahala, untuk kemudian dapat berfoya dan menghamburkannya pada sebelas bulan lainnya. Dan perfoyaan ini akan terus berlanjut sampai mati jika saya berhasil mendapat lotere bertajuk malam Qadar.

The tricky Ramadhan..

Menjadi sesumbar karena merasa telah berhasil mencurangiNya. Benarkah Ramadhan dapat diterjemahkan sehitam itu? Benarkah Ramadhan diciptakan sebagai semacam pemutihan bagi hamba-hamba seperti saya? Yang kemudian nakal memanfaatkannya sebagai celah. Untuk dapat secara simultan menjaga jarak dariNya, tetapi tetap menang dalam perhitungan kelak?

Benarkah saya telah menang atasNya? Atau sebenarnya saya hanya merasa menang padahal sebenarnya terjebak dalam permainanNya?

The tricky Ramadhan..

Agama ini menerjemahkan dirinya sendiri dengan bahasa mengambang. Bahasa yang multi tafsir. Bahasa yang mengizinkan prespektif. Bahasa yang menghalalkan subyektifitas. Agama ini selayaknya kertas putih, tetapi ia akan terlihat hitam jika anda melihatnya dengan mata terpejam.

Agama ini bisa dipandang dengan niatan buruk, mencari-cari kekurangan, sehingga pemandangnya akan mendapatinya benar, bahwa ia begitu penuh kekurangan, begitu jauh dari kesempurnaan, dan kemudian menjadi semakin tersesat darinya. Agama ini bisa dipandang dengan niat baik, dengan kacamata iman, sehingga pemandangnya akan mendapatinya benar, bahwa ia adalah rahmat bagi alam semesta dan kemudian mendapat petunjuk darinya.

The tricky Ramadhan..

Melihat dengan kacamata oportunis, seperti selazimnya kacamata saya, maka seperti diataslah keadaannya. Saya akan berstrategi. Kapan saya harus beribadah dan jeli memilah ibadah mana yang akan memberikan satuan pahala yang menguntungkan. Tentunya saat itu adalah Ramadhan, lupakan yang lain. Sedangkan ibadah apa? Tentunya semua ibadah. Tidurpun ada pahalanya.

Saya akan menjadikan diri saya sebagai mesin ibadah. Mesin pengumpul pahala. Saya akan berbisnis dengan Tuhan. Saya akan shalat, berapa Kau berani beri? Saya akan puasa, berapa akan Kau beli? Saya akan membaca alQuran, berapa akan Kau bayar?

The tricky Ramadhan..

Seketika saya merasa begitu tidak nyaman. Siapa Dia ini, sehingga saya merasa pantas berbisnis dengannya? Bukankan Dia Tuhan saya sendiri? Tuhan yang telah menciptakan saya tanpa kemudian mendapat sedikitpun manfaat dari keberadaan saya? Lalu mengapa saya begitu perhitungan dengannya? begitu malunya saya ini!

Kewajiban saya sebagai hamba hanyalah beribadah dengan taat dan ikhlas. Menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Kemudian atas itu, Tuhan bermurah untuk memberikan imbalan berupa pahala sebagaimana janjinya. Kewajiban saya adalah beribadah. Bukan mencari pahala.

The tricky Ramadhan..

Tetapi tawaran pahala pada Ramadhan ini begitu menggiurkan. Bukan hanya bagi saya. tapi bagi semua yang seperti saya. Semua yang mengejar pahala. Semua yang menjadi setingkat lebih rajin dalam ibadah daripada biasanya. Semua yang telah terkecoh dengan Ramadhan.

Semua yang secara tidak sadar, telah beribadah karena pahala. bukan karena Tuhannya. Seketika kemudian saya merasa begitu menyesal. Karena telah begitu transaksional terhadapNya. Karena telah begitu rajin disaat Ramadhan. Karena tidak lagi rajin diluar Ramadhan.

The tricky Ramadhan..

Begitu sakit saya ini. Karena telah tidak sadar menjadikan pahala sebagai dasar ibadah saya. Menjadikan pahala sebagai seolah-olah Tuhan baru bagi saya. Karena ternyata saya murtad dalam keislaman saya. Karena ternyata saya syirik dalam keimanan saya. Tidak lebih dari mereka yang begitu hina menuhankan dunia. Menuhankan harta.

Maka pahala pasti akan saya dapat atas ibadah-ibadah saya itu. Sebagaimana saya meniatkannya. Karena Dia tetaplah sang maha pemberi. Tetapi apakah saya akan mendapatkan ridha-Nya? Ketika saya lupa menjadikannya sebagai niat saya.

The tricky Ramadhan..

Ya Allah, apa maksudMu dengan pahala-pahala ini?

Ya Allah, maafkan saya. Saya yang belum mampu ber-istiqamah kepadaMu.

manusia biasa – buka 1

ini ceritanya abis dipecat, si galang galau dan flashback-lah dia..

– BUKA 1 –

 Tiang listrik di depan rumah kost, baru saja dipukul dua kali. Mata ini belum mau terpejam, seakan ia belum mau percaya atas apa yang telah terjadi sore tadi. Betapa kehidupan yang kujalani, sangat jauh dari angan yang kubangun selama ini. Angan bahwa kehidupanku…

Aku telah membangun angan ini dengan begitu dalamnya. Begitu teliti aku menyusun detail-detail tahapan kehidupan yang seharusnya aku jalani. Sehingga tidak cukup kiranya, ketika hanya kuwakilkan dengan satu kalimat —Angan bahwa kehidupanku berjalan sebagaimana aku mengangankannya.

Berbagai kisah keberhasilan anak Adam, selalu menggawangi fikiranku. Begitu menyenangkan bagiku untuk dapat menyimak setiap orang yang sedang berkisah tentang liku jalan hidupnya. Pun kepuasan kurasakan, ketika setiap kisah itu berujung pada kebahagiaan.

Walaupun setiap kisah kehidupan yang telah kusimak memiliki alur dan keunikan tersediri, setiap daripadanya pasti berujung pada satu akhir yang sama, keberhasilan. Layaknya sekian banyak pilihan jalan untuk dilalui, namun hanya pada satu Roma saja semuanya akan berujung.

Seperti kisah-kisah itulah aku mengangankan kehidupanku. Bersama angan, aku begitu meyakini bahwa dalam waktu dekat, aku akan menjadi salah satu keturunan Adam yang berhasil menginjakkan kaki di Roma. Setidaknya aku akan segera sampai pada pangkal jalan yang akan mengantarkanku pada ujung keberhasilan itu. Bahwa akan tiba saatnya nanti, dimana aku akan menjadi orang yang berkisah tentang jalan hidupku, kepada para penikmat kisah hidup seperti yang sedang kuperankan saat ini.

Berbeda dengan kebanyakan orang, yang pada akhirnya berkesempatan untuk mengisahkan jalan hidupnya, sebagai akibat dari keberhasilan yang telah diraih, aku menjadikan cita-cita untuk dapat mengisahkan jalan hidup itu, sebagai tujuan akhir kehidupanku. Sehingga aku harus menata, tentang bagaimana aku menginginkan kisah itu nantinya akan kusampaikan, dan kemudian menjalaninya sebagai jalan rencana dalam kehidupanku.

Sebagai bagian dari skenario kehidupan itu, aku juga mempersiapkan tahap dramatis dari kisah hidupku. Yaitu tahapan kehidupan yang akan berperan sebagai bumbu nostalgia dalam kisah keberhasilan kehidupanku kelak.

Betapa banyak kisah keberhasilan seorang pengusaha yang berawal dari titik-titik terendah sebuah kehidupan, titik-titik terjauh dari  ujung keberhasilan. Aku mempersiapkan titik terendah itu. Aku harus menjadikan satu penggal kehidupanku sebagai tahap hidup yang begitu terpuruk. Dengan demikian, kisah hidupku kelak dapat menjadi sebuah kisah nyata kehidupan, yang begitu dramatis tanpa tanding.

Titik-titik terendah dalam sebuah kisah ini sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kesan kontras. Bagaikan buah strawberry yang merah, terlihat begitu cantik menonjol diantara hijaunya dedaunan.

Disisi lain, titik-titik terpuruk ini juga akan berperan sebagai skala pembanding. Sebagai antisipasi jikalau keberhasilan yang kuraih nantinya tidak terlalu memuncak atau hanya biasa-biasa saja. Setiap penikmat kisah hidupku akan memakluminya, toh keberhasilan yang biasa itu tetap dapat menginspirasi, karena bermula dari titik yang sangat rendah dan begitu jauh dari pencapaiannya disaat nanti.

Selayaknya para artis-selebritis dengan kecantikannya yang hanya rata-rata, menjadi terlihat semakin cantik, karena mengaku bahwa mereka adalah gadis yang tomboy dimasa lalunya.

Terlihat semakin cantik adalah relatif, karena dengan masa lalu yang tomboy (hobi memanjat pohon, berkelahi, terlalu gemar bersepeda di tengah terik siang hari, dan atau skala-skala ke-tomboy-an lainnya yang begitu luas dan abu-abu), sang artis masih memiliki kulit yang putih mulus, bahkan tanpa bercak noda sebagai bukti otentik ke-tomboy-annya itu.

Kedua perumpamaan dan contoh itu hanyalah upaya untuk menabrakkan kedua hal yang berseberangan, untuk membangun kesan yang dramatis. Masyarakat pemuja kisah hidup sepertiku, tidak akan menyadari skenario dramatisasi semacam ini. Karena pemuja kisah hidup sepertiku, akan sangat mudah terbuai, terpuaskan dan terkagumkan oleh kisah sefiksi apapun.

Beberapa skenario kisah tragis, kupersiapkan sebagai pembentuk drama kehidupan. Usia remajaku, sebagai titik berangkat dari kehidupan yang sebenarnya, memang merupakan saat-saat yang paling tepat untuk berlakunya penggal kisah itu.

‘Bahwasanya pada masa muda, dimana sebagian besar remaja lain yang seumuran saya masih sibuk bersenang-senang dengan fenomena pubertas yang sedang mereka alami, saya sudah mulai memaksa diri saya untuk mengecap pahitnya hidup’.

Memang, kalimat itu tidak lebih dari sekedar kalimat biasa saja. Tetapi ketika nantinya kalimat itu terangkai dengan penggal lain dari kisahku yang berisikan tentang keberhasilan yang segera akan kuraih, tentu kalimat biasa tersebut akan menjelma menjadi pembentuk kontras yang sangat kuat.

Tetapi, sudah cukup lama rasanya aku masuk dan menjalani penggal tragis kehidupanku. Sore tadi pun, aku baru saja mengalami salah satu diantaranya. Entah sampai kapan aku akan terus terkubang dalam penggal ini. Belum terlihat adanya tanda-tanda bahwa penggal ini akan segera berakhir, bahwa aku akan mentas dan mulai memainkan penggal selanjutnya. Pangkal jalan menuju Roma itupun belum lagi terlihat. Tetapi aku sudah mulai bosan menjalani kehidupan ini. Kehidupan yang belum juga tertunjukkan jalannya. Kehidupan yang terasa sangat jauh dari bagaimana selama ini aku telah mengangankannya.

*

Sejak kecil, aku memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap bidang bangunan. Menilik cerita orang tuaku, aku selalu mengumpulkan uang saku yang kudapat untuk membeli bahan-bahan bangunan.

Sampai sekarang, aku masih belum mengetahui sebab pasti yang mendasari kelakuanku yang tidak lazim itu. Tetapi yang jelas, aku selalu memanfaatkan bahan-bahan bangunan yang telah aku beli itu untuk membuat sesuatu yang hampir bisa disebut bangunan.

Sisa-sisanya memang masih teronggok sebagai puing di halaman belakang rumahku. Ada batu-bata yang terpasang memanjang menyerupai dinding, ada pula sebagian halaman yang tersemen layaknya lantai, serta beberapa lainnya dengan bentuk-bentuk yang lebih abstrak dan sulit didefinisi. Perabot-perabot aneh itu menjadikan tampilan halaman belakang rumahku seperti layaknya situs penggalian artefak kuno pada pusat-pusat peradaban masa lalu.

Apapun itu, seiring berjalannya waktu, ketertarikanku pada dunia ini semakin menjadi. Pada masa remaja, sebagaimana remaja lain, aku juga mengalami transisi, dimana gejolak jiwa begitu membuncah-buncah. Pun sekian banyak pilihan pelampiasan dan penyaluran yang tersedia.

Tetapi sekali lagi, alih-alih merasa tenang ketika dapat menyatu dengan alam atau penyaluran umum lainnya, aku lebih memilih berjalan-jalan di tengah kota, untuk menikmati karya-karya arsitekur kolonial yang begitu megah. Mencoba mencari ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota? Adalah pilihan yang cukup aneh bagi kebanyakan remaja seumurku.

Sekian banyak pertanda, anganku pun mulai terbentuk. Bahwa tanda-tanda ketertarikan yang selama ini telah mengemuka, pastilah bukan sekedar hadir tanpa sebab. Segenap anganku menyeruak, inilah yang akan mengantarkanku sampai pada keberhasilan. Anganku meyakini bahwa aku terlahir untuk dunia ini. Pun dunia ini telah sekian lama bersiap untuk menyambut kehadiranku.

‘Saya rasa, setiap manusia yang dilahirkan, telah dibekali dengan pesan tentang dunia apa yang akan menghidupinya kelak. Pesan ini bisa jadi sangat eksplisit, seperti profesi orang tua yang kemudian dipilih pula oleh sang anak, atau hanya berupa pertanda kecil dengan sinyal yang sangat lemah.’

‘Seperti apapun bentuk pesan itu, masing-masing daripadanya memiliki bobot yang sama. Sehingga tidak berarti bahwa ketika pesan tersebut datang dengan begitu jelasnya, dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah manusia-manusia yang terpilih, sehingga dapat dipastikan pula bahwa ia akan memperoleh keberhasilan. Besar arti dari pesan tersebut, adalah sangat bergantung kepada bagaimana orang itu mengartikannya. Bagaimana orang itu akhirnya tersadarkan dan sedini mungkin mengembangkannya.’

‘Sedangkan pesan yang saya dapatkan, adalah apa yang terjadi dengan masa kecil dan remaja saya tersebut. Kebetulan saya tidak terlalu terlambat menyadari pesan itu dan masih memiliki kesempatan untuk memberinya arti lebih. Pesan itulah yang mengantarkan saya untuk berada disini, dan berkisah kepada saudara-saudara sekalian.’

Bayang-bayang tentang anganku mulai meremang.

*

Berniat membukakan jalan, aku memantapkan niat untuk mengenali dan mempelajari lebih dalam tentang dunia ini. Dunia yang telah membuatku miskin mainan disaat kecil, dunia yang telah begitu kuat menyita perhatianku.

Sebuah program studi arsitektur di salah satu universitas di Malang, kota kelahiranku, menjadi tempatku menambatkan angan ini untuk pertama kalinya. Rangkaian kisah tragis itupun dimulai.

Satu fakta utama yang lambat laun semakin aku sadari, adalah bahwa sedikitpun aku tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengalihwujudkan segala pemikiranku ke dalam bentuk gambar. Semakin aku memaksakan untuk membubuhkan garis-garis pembentuk gambar, semakin kaku tanganku bergerak. Semakin banyak aku menambahkan goresan pada setiap gambar kaku yang kubuat itu, semakin buruk pula tampilan gambar itu. Sedangkan telah terdoktrin kuat dalam benak masyarakat, bahwa keahlian gambar adalah keahlian yang mutlak harus dimiliki seorang arsitek.

Aku menolak doktrin publik itu. Aku meyakini bahwa seorang arsitek adalah lebih merupakan seorang perencana. Seorang perencana memiliki berbagai pilihan cara dan media untuk dapat mendeskripsikan rencananaya. Gambar hanyalah salah satu dari sekian banyak cara itu. Tentunya gambar juga sama sekali tidak berhak untuk dinobatkan sebagai satu-satunya cara yang absolut.

Tetapi nampaknya tidak sedikitpun ruang tersisa untuk oposisi. Korelasi antara arsitek dan gambar telah merupakan sebuah common sense yang bersifat taken for granted, sebuah nilai umum untuk diterima sebagaimana adanya. Semakin aku melawan doktrin-doktrin publik itu, semakin pula aku terkalahkan dan terpinggirkan.

Tetapi keremehan seperti ini tidak mampu menggoyahkan anganku. Keyakinan bahwa aku ada untuk dunia ini dan begitu pula sebaliknya, telah kubangun dengan begitu kokoh. Apapun dan bagaimanapun itu, toh saat ini aku sedang membangun penggal pembentuk dramatis dari kisah kehidupanku. Bukankah ketika semakin tragis kehidupan ini berlaku, semakin dramatis pula kisah itu nantinya?

‘Mungkin saya adalah satu-satunya arsitek di dunia ini yang tidak bisa menggambar. Saya meyakinkan klien-klien saya dengan sebuah proses. Proses yang memberikan pemahaman kepada mereka mengenai bagaimana kebutuhan mereka direncanakan dan akan berlaku. Saya meyakini bahwa proses seperti ini akan memberikan gambaran yang lebih riil bagi klien. Karena mereka dilibatkan dalam proses penggambaran itu sendiri.’

‘Saya tidak bisa menggambar, otomatis saya juga tidak
pernah memanipulasi klien dengan indahnya gambar saya. Sehingga tidak pula klien-klien saya merasa dikecewakan karena apa yang dihasilkan ternyata tidak sebaik ilustrasi gambar yang pernah diperlihatkan kepada mereka.’

‘Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak satupun dari manusia yang bisa hidup diatas indahnya secarik kertas. Atau bergelayut pada garis-garis yang tergores diatas kertas itu. Mereka hanya bisa hidup pada perwujudan angan mereka. Hari ini, saya telah membuktikan bahwa kekuatan sebuah perencanaan menjadi semakin murni tanpa adanya gambar ilustrasi.’

Mungkin seperti itu aku akan berkisah kelak.

*

Keputusanku untuk tetap bertahan pada dunia ini sebagaimana keyakinanku, akhirnya menemukan jalan keluar. Masa-masa dimana aku menempuh ilmu, bertepatan dengan masa transisi media yang digunakan untuk mempresentasikan hasil desain. Transisi dari gambar tangan, menuju komputerisasi. Transisi dari keilmuan padat karya, menuju padat tekhnologi. Layaknya masa peralihan media rekam dari piringan hitam menuju kaset yang begitu meledak, semeledak itu pulalah transisi yang sedang terjadi.

Seketika itu seluruh meja gambar dilipat dan digantikan oleh seperangkat komputer. Seketika itu orang tidak lagi mempermasalahkan mesin lengan atau rell, hanya spesifikasi komputer yang mereka bicarakan. Seketika itu proses pembelajaran tidak lagi mengenai bagaimana sang pelajar dapat menggoreskan sebuah garis panjang yang lurus tak terputus, melainkan bagaimana sang pelajar dapat menghafal sebanyak mungkin kode-kode perintah gambar yang dikenali oleh sistem perangkat lunaknya. Seketika itu pula seluruh perangkat rapido teregenerasi oleh keyboard dan mouse. Keseketikaan itulah yang menyelamatkan dan semakin memantapkanku untuk tidak beranjak dari dunia keilmuan yang telah kuyakini sebagai jalan hidupku ini.

Seluruh proses menjadi begitu dimudahkan. Goresan tanganku yang begitu kaku, tidak lagi menjadi permasalahan pelik. Karena kini, proses menggambar hanyalah sekedar proses menggerakkan mouse dan mengutak-atik keyboard. Semakin besar saja semangatku untuk dapat menguasai teknologi ini. Karena teknologi ini bukan saja dapat menggantikan buruknya kemampuan gambar tanganku, melainkan juga ada semangat kekinian dalam tekhnologi tersebut. Ada semangat modernitas yang seiring-sejalan dengan zaman.

Tetapi ternyata tidak semudah itu. Perkembangan teknologi perangkat lunak sebagai alat bantu gambar, berkembang dengan sangat pesat. Terlalu pesat untuk dapat kuikuti. Dalam sekejap, puluhan perangkat lunak beredar dengan keunggulannya masing-masing.

Belum lagi satu perangat lunak berhasil kukuasai, telah muncul puluhan lainnya. Setiap daripadanya memiliki kode perintah kerja yang sangat beragam dan tidak mampu terekam sempurna dalam ingatanku. Layaknya lembaga bantuan belajar yang masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan sebuah soal yang sama. Bahwa angka 2 bukan hanya merupakan hasil penambahan dari dua buah angka 1. Melainkan juga merupakan setengah bagian dari angka 4 dan banyak lagi. Mustahil bagiku untuk dapat mengikuti perkembangan itu. Mungkinkah ini akhir dari perjalananku membangun angan?

Seperti telah larut dalam keyakinan anganku, sekali lagi aku berkata ‘tidak’ untuk menyerah kepada kenyataan. Pada akhirnya aku berlabuh pada keputusan untuk mendalami secara utuh akan sebuah sistem perangkat lunak. Bagaimanapun juga, sistem ini hanyalah alat bantu. Inti dari segalanya tetaplah ada pada kematangan berfikir, pada kemapanan untuk dapat menghasilkan sebuah perencanaan yang dapat menjawab segala permasalahan. Toh kisah ini baru saja bermula. Tentunya apa yang terjadi saat ini juga merupakan sebuah pembentuk kontras yang tidak akan kalah kuat.

‘Sebagai arsitek, saya tumbuh pada era serba komputer. Saya lahir bersamaan dengan hadirnya sekian banyak software presentasi desain, dengan kualitas output gambar yang sangat baik, bahkan mendekati kenyataan. Sebagai mahasiswa, tentunya saya juga tertarik untuk menguasai semuanya. Tetapi saya mencoba untuk lepas dari ketertarikan itu dan mencoba kembali kepada esensi kebutuhan. Saya hanya membutuhkan satu, maka hanya salah satu saja yang perlu saya kuasai. Bukan karena saya tidak mampu menguasai semuanya, tetapi mempelajari semuanya akan menyita waktu yang tidak sedikit. Sedangkan penguasaan terhadap software-software tersebut bukanlah merupakan inti dari keilmuan arsitektur itu sendiri. Sebagai arsitek, saya perlu mematangkan cara berfikir, perlu memapankan kemampuan perencanaan, yang juga membutuhkan banyak waktu dan konsentrasi.’

Tentunya pernyataan diatas akan sangat menginspirasi para menikmat kisah hidupku kelak. Aku juga dapat menambahkan retorika kecil sebagai penguatnya.

Software-software tersebut hanyalah sekedar alat bantu agar kita dapat lebih mudah mengilustrasikan sebuah desain. Intinya adalah tetap pada keberadaan desain itu sendiri. Berapapun banyaknya software yang saya kuasai, ketika saya tidak memiliki kemampuan untuk membuat sebuah desain, apakah penguasaan saya terhadap sekian banyak software tersebut akan memberikan manfaat? Hidup adalah pilihan.’

*

Tidak merasa cukup hanya dengan menimba ilmu dari sebuah institusi pendidikan, akupun berkehendak untuk sesegera mungkin masuk dalam dunia praktek. Sang rimba belantara sebenar-benarnya.

Tentunya bukan hanya sebagai pekerja atau sekedar mengerjakan maket studi milik senior, aku menghendaki lebih dari itu. Sebuah usaha berbadan hukum resmi aku dirikan. Sebagai pemula, aku tidak memberikan batas dalam lingkup kerja usahaku itu. Apapun pekerjaan itu, asalkan berbau konstruksi, kujadikan sasaran. Pada masa awal, aku menyasar pada proyek-proyek bernilai kecil terlebih dahulu. Toh usaha ini hanyalah ladang pembelajaranku.

Sebuah strategi besar kurencanakan untuk memastikan keberhasilan usaha tersebut. Tetapi langkahku kembali terhenti. Alih-alih pelajaran berharga, aku malah menemukan berbagai anomali. Anomali yang bukan hanya sekedar menghambat, melainkan begitu mematikan.

Belum lagi satu langkah berhasil kupijakkan, aku harus  berkenalan dengan praktek-praktek keji kompensasi dan pungutan liar. Gejolak idealisme usiaku menolaknya. Sesaat lama aku merenung. Menimbang antara melepas nilai dan melanjutkan langkah, atau sebaliknya. Kemudian aku teringat pada iklan sebuah produk sabun mandi, ‘tidak ada kotor, tidak ada belajar’. Senyum maklum mengantarku untuk kembali melangkah.

Tetapi sayang, hanya angan yang menjadi guruku selama ini. Dalam angan, hanya ada keberhasilan. Tetapi angan, tidak memberikan jalan untuk menuju keberhasilan itu. Sepenuhnya aku sadar bahwa aku membutuhkan pasar untuk mengembangkan usahaku. Sayangnya,  pasar itu tidak turun begitu saja dari langit. Mendapatkan pasar adalah buah dari serangkaian pekerjaan panjang yang melibatkan pengenalan, kejelian, jaringan, pembangunan koneksi, menciptakan kebutuhan, yang semuanya tidak dapat diwujudkan hanya dalam satu malam. Pun masyarakat menuntut adanya pengalaman untuk bisa percaya. Meskipun samar, namun jelas terlihat bahwa masyarakat juga meragukan usiaku.

Besar fikir kucurahkan atas kelanjutan usahaku ini. Namun pada akhirnya aku sampai pada keputusan untuk menyudahinya. Dunia konstruksi adalah sasaran pembelajaran yang kutuju dengan mendirikan usaha ini. Bukan pendidikan praktek diplomasi pemasaran. Kereta yang berjalan diluar sepurnya ini, tidak akan pernah berhasil mengantarkanku pada sasaran tujuku. Untuk kesekian kalinya, penggal tragis kembali terbentuk. Semakin panjang rangkaian penggal itu, semakin kuat pula kesan kontras yang ditimbulkannya.

‘Untuk memperluas wawasan saya, pada saat kuliah saya mendirikan usaha berbadan hukum resmi untuk pertama kalinya. Dan gagal. Tapi kegagalan itu sendiri hanyalah bagian kecil dari sebuah hasil. Keluasan wawasan sebagai tujuan saya, tetap berhasil saya raih. Satu hal yang paling utama adalah kesadaran saya akan keberadaan nilai-nilai dalam diri saya, yang akhirnya mengantarkan saya pada titik pijakan saya saat ini. Bahwa tahapan hidup saya banyak terakselerasi dengan pengalaman itu.’

‘Secara instan saya didorong untuk sesegera mungkin beranjak dari nilai-nilai idealis kaum muda. Dengan begitu saya memiliki starting point yang lebih awal dari teman-teman saya. Nilai lain yang saya peroleh adalah adanya keseriusan dalam diri saya untuk tidak begitu saja bergantung pada keberuntungan yang mungkin akan datang. Karena ‘mungkin akan datang’, berarti juga ‘mungkin tidak akan datang’. Semakin kecil saya memperhitungkan nilai keberuntungan itu dalam membentuk kehidupan saya, semakin besar kemungkinan bahwa kehidupan saya akan berjalan sesuai dengan apa yang saya rencanakan.’

‘Meskipun gagal, tetapi saya telah berhasil membuka mata saya tentang bagaimana sebenarnya dunia ini berlaku. Kegagalan memang menyakitkan. Tetapi bagaimana kita dapat jeli untuk mencuri nilai yang tersisa dari kegagalan tersebut, adalah suatu hasil yang lebih besar dari keberhasilan itu sendiri.’

*

Tetap bertahan pada dunia yang selalu melawanku, bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan. Sekali waktu aku merenungkan sesuatu tentang —mungkinkan ini bukan dunia yang tepat bagiku?

Sesegera mungkin aku menampik perenunganku itu. Sekian lama aku telah meyakini pertanda itu. Sekian lama pula aku telah mendedikasikan usiaku untuk menjalani dunia ini sebagai manifestasi dari keyakinanku itu. Pantang bagiku untuk berputar balik. Sudah terlalu terlambat untuk dapat kembali. Menjalani, walau bagaimanapun perjalanan itu akan berlaku, tentu jauh lebih baik.

Sekali lagi renungan itu tersamar —bijaksanalah! tidak pernah ada kata terlambat untuk segala sesuatu! Selamatkan masa depanmu! Dan aku menendang perenungan itu jauh-jauh.

Begitu susah payah aku melakoni tahap kehidupan ini. sampai pula aku pada akhir tahap pembelajaran. Tidak terlalu memuaskan memang, hanya lulus dengan nilai cukup. Tetapi aku telah dibangun dengan tempaan keras para pandai kehidupan. Tempaan itulah yang mencukupkan pembelajaranku. Tempaan itu juga yang memastikanku untuk terus maju menerjang segala aral, dalam menapaki jalan panjang kehidupan ini. Tentunya untuk mencari tahu, gerangan apa yang telah dipersiapkan kehidupan untukku di depan sana? Gerangan yang telah kubangun dengan angan selama ini.

Berniat untuk mencapai akhir angan yang begitu tinggi, aku merasa tidak cukup hanya dengan tetap berada di kota kecil ini. Harus ada perpindahan yang nyata. Perpindahan yang menjadi simbol perubahan atas segala apa yang menjadi timbal balik dari anganku. Bahwa di pijakan baru nanti, kehidupan akan menyadari kekuatan tekadku, untuk tidak menyerah begitu saja kepadanya. Segalanya tentu akan menjadi lebih baik.

‘Sempat juga saya memikirkan kemungkinan untuk menyerah. Berbesar hati mengakui bahwa saya tidak memiliki kemampuan dalam dunia ini. Tetapi saya mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa menyerah bukanlah pilihan. Setelah sekian lama, jalan yang sangat berliku, dengan langkah yang terseok-seok, akhirnya saya lulus. Pilihan saya selanjutnya adalah hijrah ke Jakarta. Bagi saya, perpindahan itu mengandung arti dan semangat yang sangat besar. Perpindahan berarti tetap tidak menyerah. Tetapi dengan kewarasan, perpindahan juga berarti kompromi. Memilih untuk berdamai dengan kenyataan dan mencobakan peruntungan di tempat lain.’

‘Intinya adalah kita tetap memiliki tekad. Tekad itu adalah nekat yang disertai dengan akal sehat. Dengan adanya tekad, semua rintangan menjadi terasa lebih ringan. Dengan terasa lebih ringan, maka kita tidak akan mudah menyerah. Dan tidak mudah menyerah adalah kunci untuk membuka semua pintu keberhasilan. Saya, berhasil membuktikannya!’

 

                Jakarta, aku datang!

bersambung..

manusia biasa – buka

seperti sudah saya utarakan sebelumnya mengenai tujuan didirikannya blog ini, adalah untuk membagi karya-karya tulisan saya, baik yang laku, dipaksa laku, atau tidak laku, kepada jiwa-jiwa lapar disekeliling saya..

mari kita mulai..

MANUSIA BIASA

sebenernya tulisan berbentuk hampir novel ini ditulis sebagai entri naskah untuk sayembara penulisan novel DKJ beberapa tahun yang lalu. sebenarnya dapat juara dua, tapi tidak diumumkan. jurinya bilang bahwa tahun ini hanya ada juara pertama saja. ini semacam sabotase buat karya saya. sabotase terhadap jalan saya untuk dikenal sebagai penulis berbagat di jagat ini.

manusia biasa bercerita mengenai masa-masa akhir kehidupan seorang pecundang. mengenai pentingnya sudut pandang. mengenai pentingnya sabar.

mari kita mulai

MANUSIA BIASA

– BUKA –

“Permisi…”

“Ya… Oh, Galang. Silahkan masuk Gal”

Sore ini Pak Bira memanggilku. Suatu kebetulan ketika sebelumnya aku juga berniat menemuinya, untuk menanyakan perihal gaji yang sampai tanggal lima ini, belum juga menunjukkan tanda-tanda akan dibayarkan.

“Silahkan duduk dulu Gal, saya selesaikan ini sebentar”, Pak Bira mempersilahkanku duduk seraya tetap berkonsentrasi pada beberapa lembar kertas dihadapannya, yang sepertinya berisi rekapitulasi angka-angka Rupiah.

Beberapa saat kemudian beliau telah sampai pada lembar terakhir. Beberapa saat terpaku pada lembar itu dan sekali lagi menyisir lembar demi lembar dari awal hingga akhir. Memastikan bahwa tidak ada yang terlewat dan bahwa semua masih berada dalam kendalinya. Mengangguk-angguk kecil, merapikan susunan lembar-lembar kertas itu dan kemudian meletakkannya di sudut meja. Setelah menyempatkan untuk memindahkan kacamatanya ke atas dahi, sesaat mencoba mencari posisi ternyaman dalam duduknya dan akhirnya siap denganku.

“Bagaimana hari ini Gal?”, Pak Bira membuka dengan basa-basi ringan.

“Seperti biasa saja pak, merapikan beberapa liputan yang lalu, belum ada yang spesial. Sedang sibuk pak?”, aku membalas basa-basinya.

“Ini, memantau sirkulasi. Pusing, hampir semua agen melakukan pembayaran mundur”, Pak Bira menunjuk kecil pada tumpukan kertas yang ditelitinya tadi.

“Wah, berarti gajian bulan ini mundur lagi ya pak?”, seakan aku tahu akan dibawanya kemana pembicaraan ini.

Kemudian Pak Bira mengusapkan tangan ke wajahnya, senyuman kecil yang sejenak lalu tersungging disana sebagai tanggapan atas kelakarku, hilang terbawa usapan tangan itu. “Ah tidak juga, gaji kamu akan saya bayar hari ini.”

“Terima kasih pak”, jawabku singkat.

“Ini bulan keempat kamu ya?”

“Benar sekali pak, akhir bulan yang lalu, saya telah resmi bergabung di majalah ini selama tiga bulan.”

“Ini begini Gal…”, beberapa saat kemudian beliau terdiam. Akupun merespon secukupnya pada pernyataan Pak Bira yang terpotong itu.

“… Emm begini, kita semua tahu kalau dua edisi terakhir ini majalah kita tidak terbit. Sebabnya, karena perusahaan sedang mengalami permasalahan finansial, tagihan sirkulasi macet. Seperti yang tadi sudah saya katakan, semua agen melakukan pembayaran mundur. Beberapa iklan yang masuk juga memilih cara pembayaran yang sama. Bahkan beberapa diantaranya hanya bersedia melakukan barter produk. Intinya kita tidak mampu membayar biaya cetak”, sekali lagi Pak Bira terdiam. Kali ini tidak terlalu lama.

“Dengan kita tidak naik cetak tersebut, memang banyak sekali pos biaya yang berkurang. Tetapi dengan tidak cetak, berarti juga tidak terbit. Otomatis dengan tidak terbitnya majalah, pos-pos pemasukan juga sangat berkurang. Bahkan praktis tidak ada pemasukan, kecuali tagihan-tagihan mundur yang memang jatuh tempo pada saat sekarang”, dan lagi, beliau terdiam.

Aku masih meraba-raba, kalimat-kalimat Pak Bira ini pasti akan berujung pada satu titik. Tetapi aku masih tidak tahu, dimana titik ujung itu berada. Aku hanya dapat sekali lagi memusatkan konsentrasiku, untuk menyimak kelanjutan kalimat-kalimat beliau tersebut.

“Sehingga, dengan tidak adanya rencana pemasukan ke depan itu, permasalahan yang kita hadapi menjadi semakin parah. Dengan kondisi perusahaan yang seperti ini, kalau tidak segera diambil langkah-langkah taktis penyelamatan, bukan tidak mungkin jika nasib majalah ini akan segera berujung pada kebangkrutan. Tentunya bukan akhir seperti itu yang kita inginkan.”

Pak Bira menegakkan tubuhnya, kemudian ia melanjutkan, “Pagi tadi saya bertemu dengan dewan komisaris di Kantor Pusat Kuningan, tentunya untuk mencari jalan keluar. Awalnya para komisaris itu merencanakan penutupan sesegera mungkin, sebelum kerugian semakin menjadi-jadi. Tetapi setelah saya berusaha meyakinkan, akhirnya mereka memutuskan untuk mempertahankan majalah ini. Sayangnya keputusan mereka tersebut tidak didukung dengan pencabutan kebijakan yang telah mereka tetapkan sebelumnya, yaitu kebijakan tentang kemandirian anak perusahaan. Sehingga praktis sebenarnya keputusan mereka tersebut tidak berbuah positif pada nasib majalah. Kalau boleh saya ibaratkan, kondisi kita sekarang adalah seperti anak yang dibiarkan hidup, tetapi tidak diberi makan.”

Desas-desus tentang nasib perusahaan penerbitan majalah tempatku bekerja ini, memang sudah beberapa saat terakhir menjadi bahan pembicaraan hangat diantara para karyawan. Bahwa kesulitan keuangan yang dihadapi oleh majalah ini adalah karena kebijakan perusahaan induk, yang menuntut kemandirian seluruh anak perusahaannya. Dengan adanya kebijakan itu, praktis sejak dua bulan yang lalu, majalah dipaksakan mandiri dan tidak lagi menerima suntikan dana operasional. Sudah barang tentu, dengan tidak adanya suntikan dana operasional, perusahaan tidak dapat beroperasi secara normal.

Karena dengan umur majalah yang belum lagi genap dua tahun ini, majalah masih berada dalam tahap pengenalan kepada masyarakat sebagai target pasar. Alih-alih untung, majalah ini masih membutuhkan suntikan dana segar untuk menopang biaya operasional rutin setiap bulannya. Sehingga tidak dapat begitu saja disamakan dengan anak perusahaan lain, yang sudah mulai menangguk untung. Desas-desus itulah yang saat ini sedang diangkat oleh Pak Bira. Pak Bira memang sering memanggil kami, karyawan-karyawannya, untuk sekedar menemaninya berbincang-bincang di ruangannya ini. Kami menamainya sebagai ‘sesi curhat’, dengan Pak Bira sebagai pasiennya.

“Saya tidak tahu yang sedang kita hadapi ini aksi lepas tangan atau bukan, tapi komisaris menyerahkan semua kebijakan di tangan saya. Karena menurut mereka, sayalah yang meminta agar majalah ini dipertahankan. Bahkan ketika saya mengajukan beberapa alternatif jalan keluar, seperti kemungkinan penggabungan dengan majalah lain yang sepaham, mereka hanya berkomentar singkat ‘terserah!’”

“Lalu akhirnya bagaimana pak?”, aku menanggapi seadanya saja.

“Begini, dengan kondisi yang seperti ini, sekarang kita bukan lagi sekedar satu tim kerja, melainkan lebih dari itu. Sekarang kita semua adalah satu keluarga. Bahwa majalah ini adalah periuk nasi kita semua. Sebagai satu keluarga, tentunya bersama-sama kita harus menjaga agar periuk nasi ini tetap tegak berdiri”

Entah kenapa, ditengah kalimatnya yang bernada memuncak itu, Pak Bira kembali terdiam. Tidak tahu apa yang sedang terjadi, akupun tetap diam dan menantikan kelanjutannya. Namun karena sedikit terlalu lama, aku mengira bahwa Pak Bira menantikan tanggapanku. Meskipun saatnya sedikit kurang tepat untuk sebuah tanggapan, akupun menanggapi singkat, “Iya pak, saya sepaham”.

“Dalam semangat untuk tetap menegakkan periuk nasi kita semua ini, ada beberapa kebijakan yang akan saya ambil berkaitan dengan efisiensi operasional. Salah satu langkah efisiensi tersebut adalah bahwa beberapa karyawan akan terkena pemutusan hubungan kerja. Sedangkan karyawan lain yang masih dipertahankan akan terkena pemotongan gaji. Kebijakan ini terpaksa harus saya ambil, agar perusahaan tetap dapat beroperasi. Saya sangat menyadari, bahwa ke depan, dengan berkurangnya anggota tim kerja, operasional majalah tidak akan selancar sebelumnya. Namun tidak ada jalan lain. Semua harus berkorban demi kelangsungan perusahaan, termasuk saya. Sedangkan anda, dengan sangat menyesal, anda termasuk dalam beberapa karyawan yang tidak lagi dapat dipertahankan”

Sejenak aku terperanjat kaku… kalimat-kalimat akhir itu seperti mengalir terlalu cepat untuk dapat kucerna dengan baik. Beberapa saat kemudian aku kembali menguasai diriku dan menyadari bahwa aku telah dipecat!

Aku belum pernah merasakan dipecat sebelumnya. Karena bekerja di majalah ini adalah pengalaman kerjaku yang pertama. Tetapi aku tidak mengira bahwa ungkapan-ungkapan seperti ‘satu keluarga’ dan ‘periuk nasi kita bersama’, adalah pilihan ungkapan yang lazim digunakan untuk mengawali sebuah berita pemecatan. Aku tidak mengerti.

Bagaimana mungkin setelah seorang manajer mendeklarasikan bahwa kami semua adalah satu keluarga, kemudian dia memecat orang yang baru saja diangkatnya menjadi bagian dari keluarga itu? Bagaimana mungkin setelah seorang manajer mengungkapkan bahwa majalah ini adalah periuk nasi kita bersama, serta merta kemudian dia mengatakan bahwa majalah ini bukanlah periuk nasi bagiku? Susah payah aku mencari korelasi diantara kedua pernyataan yang anomali tersebut.

“Tetapi jangan gusar dulu”, Pak Bira cepat melanjutkan kata-katanya. “Saya harap Galang memahami posisi saya, bahwa sangat berat bagi saya untuk melepaskan anda. Saya mengapresiasi baik kinerja anda selama ini. Tentunya sebuah kehilangan besar bagi majalah ini untuk melepaskan potensi sekualitas anda. Tetapi saya juga harus adil terhadap semua. Bahwa Galang adalah termasuk lima karyawan yang bergabung paling akhir dengan majalah ini. Sehingga saya tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya saja Galang bergabung lebih awal, tentunya keadaan akan jauh berbeda”

Penjelasan Pak Bira tersebut sedikit memberikan pencerahan mengenai duduk persoalan yang terjadi. Bahwa aku termasuk dalam lima karyawan yang paling akhir bergabung. Karena perusahaan perlu melepaskan lima karyawan sebagai bentuk efisiensi, maka pilihan untuk melepaskan karyawan-karyawan dengan kriteria tersebut, memang terasa cukup adil bagi semua.

Tetapi bukankah setiap karyawan memiliki tanggungjawab pada bagian pekerjaannya masing-masing? Bagaimana jika salah satu dari kelimanya adalah Dody, sang photographer, atau Jojo, sang layout designer, yang hanya merupakan karyawan satu-satunya pada bagiannya? Apakah majalah arsitektur seperti ini akan beroperasi dengan tanpa photographer? Atau tanpa layout designer? Atau bahkan ketika salah satu dari kelimanya adalah Pak Bira sendiri? Mengingat manajer yang satu ini juga belum genap satu tahun bergabung. Tidak ada klausul dari kebijakan tersebut yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Belum lagi aku tuntas berargumen dalam hati mengenai hak-hak hidupku untuk memperoleh penghidupan yang layak, yang baru saja dikebiri, Pak Bira sudah kembali melanjutkan kalimatnya.

“Namun, sebagaimana telah saya utarakan di depan tadi, bahwa saat ini kita adalah satu keluarga dan bahwa majalah ini adalah periuk nasi kita bersama, maka keputusan penonaktifan Galang dan beberapa teman lainnya ini, patut dimaknai hanya sebagai keputusan administratif belaka. Karena saya memang dituntut untuk melakukan langkah kongkrit efisiensi untuk kemudian saya laporkan kembali kepada dewan komisaris.”

“Maksudnya pak?”, penonaktifan sebagai keputusan administratif belaka? Apa pula maksud manajer satu ini?!

“Maksud saya begini, bahwa mulai besok dan seterusnya, anda silahkan masuk dan bekerja seperti biasa saja. Hanya saja perlu anda tanamkan dalam benak anda, bahwa diakhir bulan nanti, anda tidak akan lagi menerima gaji”

Aku tidak tahu harus memberikan tanggapan seperti apa. Bagaimanapun juga pernyataan Pak Bira itu tidak dapat dicerna oleh akal sehat, pun oleh teori logika apapun. Bagaimana mungkin setelah dipecat, aku harus tetap masuk dan bekerja seperti biasa, tetapi diakhir bulan aku tidak akan menerima gaji lagi? Apakah aku harus bekerja sukarela? Ataukah mungkin bahwa akan ada bentuk kompensasi lain atas waktu dan fikiran yang kucurahkan pada majalah ini selain gaji? Pahala misalnya? Aku hanya bisa mengernyitkan dahi, sebagai tanda ketakjubanku atas jalan fikiran sang manajer.

“Ini hanya sementara. Setelah kita dapat melewati masalah ini, setelah nanti majalah kembali mapan secara finansial, anda dan teman-teman lainnya akan diangkat kembali seperti sedia kala. Sehingga dengan tetap bergabungnya anda dan teman-teman lainnya, bahwa majalah tetap berjalan dengan kekuatan penuh, saya yakin bahwa bersama-sama kita akan menyelesaikan masalah ini lebih cepat. Tentunya tujuan itulah yang kita inginkan bersama”, Pak Bira menatapku dengan begitu kuatnya. Seolah-olah dia ingin mendoktrinasiku dengan jalan fikirnya yang aneh itu. Seaneh jalan fikiran yang menyatakan bahwa melakukan bom bunuh diri ditengah kerumunan masa, adalah salah satu bentuk perjuangan suci.

“Pertama saya mau mengucapkan terima kasih pak. Karena walaupun baru sebentar saya bergabung, saya sudah dianggap sebagai bagian dari keluarga, begitu pula sebaliknya. Dari penjelasan bapak, sepenuhnya saya juga dapat mengerti kondisi keuangan majalah saat ini. saya juga memahami tekanan pusat kepada bapak dan saya dapat menerima keputusan penonaktifan saya tersebut. Pada sisi-sisi idealis saya, saya mencitakan bahwa bergabungnya saya dengan majalah ini dapat menjadikan majalah ini meraih keberhasilan.”

Setelah mengambil nafas, kembali kulanjutkan, “Namun bagaimanapun juga, saya harus realistis. Sisi realistis saya itu mengharuskan saya untuk dapat tetap hidup. Sehingga saya membutuhkan penghasilan yang kongkrit untuk dapat mewujudkan paksaan sisi realistis saya tersebut. Oleh karenanya, mungkin akan lebih baik jika untuk sementara saya dapat mencari penghasilan di luar majalah ini. Namun demikian, tentunya untuk dapat kembali bergabung dengan majalah ini, adalah menjadi prioritas utama saya. Saya akan selalu siap jika nantinya majalah ini juga telah siap menerima saya kembali”, untuk sementara ini aku hanya bisa jujur terhadap kondisiku sendiri. Bahwa kondisiku saat ini belum mengijinkanku untuk membagi potensiku secara sukarela kepada siapapun.

Beberapa lama kami sama-sama terdiam. Pak Bira hanya menatapku secara konstan sebagaimana pada saat aku berbicara tadi. Beberapa kali aku menganggukkan kepalaku kepadanya, untuk mengisyaratkan bahwa aku telah selesai dengan pernyataanku, dan selayaknya perbincangan yang normal, sekarang giliran Pak Bira untuk menanggapi.

Walaupun sedikit terlambat, akhirnya Pak Bira bereaksi juga. “Baiklah. Kalau itu memang yang terbaik bagi anda, tentunya baik juga bagi kita semua. Saya sudah tidak memiliki kapasitas lagi untuk menahan anda. Saya hanya dapat berharap dan bekerja lebih giat, agar permasalahan ini dapat segera terselesaikan dan kita semua dapat bekerja sama lagi. Begitu?”

Akupun mengakhirinya dengan anggukan kepala dan sedikit senyum. Tak lama kemudian, Pak Bira mengatakan bahwa malam ini gajiku akan ditransfernya ke rekeningku. Setelah sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, kami sama-sama berdiri, berjabat tangan, dan akupun resmi menjadi pengangguran.

bersambung..