ini ceritanya abis dipecat, si galang galau dan flashback-lah dia..
– BUKA 1 –
Tiang listrik di depan rumah kost, baru saja dipukul dua kali. Mata ini belum mau terpejam, seakan ia belum mau percaya atas apa yang telah terjadi sore tadi. Betapa kehidupan yang kujalani, sangat jauh dari angan yang kubangun selama ini. Angan bahwa kehidupanku…
Aku telah membangun angan ini dengan begitu dalamnya. Begitu teliti aku menyusun detail-detail tahapan kehidupan yang seharusnya aku jalani. Sehingga tidak cukup kiranya, ketika hanya kuwakilkan dengan satu kalimat —Angan bahwa kehidupanku berjalan sebagaimana aku mengangankannya.
Berbagai kisah keberhasilan anak Adam, selalu menggawangi fikiranku. Begitu menyenangkan bagiku untuk dapat menyimak setiap orang yang sedang berkisah tentang liku jalan hidupnya. Pun kepuasan kurasakan, ketika setiap kisah itu berujung pada kebahagiaan.
Walaupun setiap kisah kehidupan yang telah kusimak memiliki alur dan keunikan tersediri, setiap daripadanya pasti berujung pada satu akhir yang sama, keberhasilan. Layaknya sekian banyak pilihan jalan untuk dilalui, namun hanya pada satu Roma saja semuanya akan berujung.
Seperti kisah-kisah itulah aku mengangankan kehidupanku. Bersama angan, aku begitu meyakini bahwa dalam waktu dekat, aku akan menjadi salah satu keturunan Adam yang berhasil menginjakkan kaki di Roma. Setidaknya aku akan segera sampai pada pangkal jalan yang akan mengantarkanku pada ujung keberhasilan itu. Bahwa akan tiba saatnya nanti, dimana aku akan menjadi orang yang berkisah tentang jalan hidupku, kepada para penikmat kisah hidup seperti yang sedang kuperankan saat ini.
Berbeda dengan kebanyakan orang, yang pada akhirnya berkesempatan untuk mengisahkan jalan hidupnya, sebagai akibat dari keberhasilan yang telah diraih, aku menjadikan cita-cita untuk dapat mengisahkan jalan hidup itu, sebagai tujuan akhir kehidupanku. Sehingga aku harus menata, tentang bagaimana aku menginginkan kisah itu nantinya akan kusampaikan, dan kemudian menjalaninya sebagai jalan rencana dalam kehidupanku.
Sebagai bagian dari skenario kehidupan itu, aku juga mempersiapkan tahap dramatis dari kisah hidupku. Yaitu tahapan kehidupan yang akan berperan sebagai bumbu nostalgia dalam kisah keberhasilan kehidupanku kelak.
Betapa banyak kisah keberhasilan seorang pengusaha yang berawal dari titik-titik terendah sebuah kehidupan, titik-titik terjauh dari ujung keberhasilan. Aku mempersiapkan titik terendah itu. Aku harus menjadikan satu penggal kehidupanku sebagai tahap hidup yang begitu terpuruk. Dengan demikian, kisah hidupku kelak dapat menjadi sebuah kisah nyata kehidupan, yang begitu dramatis tanpa tanding.
Titik-titik terendah dalam sebuah kisah ini sangat dibutuhkan untuk mendapatkan kesan kontras. Bagaikan buah strawberry yang merah, terlihat begitu cantik menonjol diantara hijaunya dedaunan.
Disisi lain, titik-titik terpuruk ini juga akan berperan sebagai skala pembanding. Sebagai antisipasi jikalau keberhasilan yang kuraih nantinya tidak terlalu memuncak atau hanya biasa-biasa saja. Setiap penikmat kisah hidupku akan memakluminya, toh keberhasilan yang biasa itu tetap dapat menginspirasi, karena bermula dari titik yang sangat rendah dan begitu jauh dari pencapaiannya disaat nanti.
Selayaknya para artis-selebritis dengan kecantikannya yang hanya rata-rata, menjadi terlihat semakin cantik, karena mengaku bahwa mereka adalah gadis yang tomboy dimasa lalunya.
Terlihat semakin cantik adalah relatif, karena dengan masa lalu yang tomboy (hobi memanjat pohon, berkelahi, terlalu gemar bersepeda di tengah terik siang hari, dan atau skala-skala ke-tomboy-an lainnya yang begitu luas dan abu-abu), sang artis masih memiliki kulit yang putih mulus, bahkan tanpa bercak noda sebagai bukti otentik ke-tomboy-annya itu.
Kedua perumpamaan dan contoh itu hanyalah upaya untuk menabrakkan kedua hal yang berseberangan, untuk membangun kesan yang dramatis. Masyarakat pemuja kisah hidup sepertiku, tidak akan menyadari skenario dramatisasi semacam ini. Karena pemuja kisah hidup sepertiku, akan sangat mudah terbuai, terpuaskan dan terkagumkan oleh kisah sefiksi apapun.
Beberapa skenario kisah tragis, kupersiapkan sebagai pembentuk drama kehidupan. Usia remajaku, sebagai titik berangkat dari kehidupan yang sebenarnya, memang merupakan saat-saat yang paling tepat untuk berlakunya penggal kisah itu.
‘Bahwasanya pada masa muda, dimana sebagian besar remaja lain yang seumuran saya masih sibuk bersenang-senang dengan fenomena pubertas yang sedang mereka alami, saya sudah mulai memaksa diri saya untuk mengecap pahitnya hidup’.
Memang, kalimat itu tidak lebih dari sekedar kalimat biasa saja. Tetapi ketika nantinya kalimat itu terangkai dengan penggal lain dari kisahku yang berisikan tentang keberhasilan yang segera akan kuraih, tentu kalimat biasa tersebut akan menjelma menjadi pembentuk kontras yang sangat kuat.
Tetapi, sudah cukup lama rasanya aku masuk dan menjalani penggal tragis kehidupanku. Sore tadi pun, aku baru saja mengalami salah satu diantaranya. Entah sampai kapan aku akan terus terkubang dalam penggal ini. Belum terlihat adanya tanda-tanda bahwa penggal ini akan segera berakhir, bahwa aku akan mentas dan mulai memainkan penggal selanjutnya. Pangkal jalan menuju Roma itupun belum lagi terlihat. Tetapi aku sudah mulai bosan menjalani kehidupan ini. Kehidupan yang belum juga tertunjukkan jalannya. Kehidupan yang terasa sangat jauh dari bagaimana selama ini aku telah mengangankannya.
*
Sejak kecil, aku memiliki ketertarikan yang tinggi terhadap bidang bangunan. Menilik cerita orang tuaku, aku selalu mengumpulkan uang saku yang kudapat untuk membeli bahan-bahan bangunan.
Sampai sekarang, aku masih belum mengetahui sebab pasti yang mendasari kelakuanku yang tidak lazim itu. Tetapi yang jelas, aku selalu memanfaatkan bahan-bahan bangunan yang telah aku beli itu untuk membuat sesuatu yang hampir bisa disebut bangunan.
Sisa-sisanya memang masih teronggok sebagai puing di halaman belakang rumahku. Ada batu-bata yang terpasang memanjang menyerupai dinding, ada pula sebagian halaman yang tersemen layaknya lantai, serta beberapa lainnya dengan bentuk-bentuk yang lebih abstrak dan sulit didefinisi. Perabot-perabot aneh itu menjadikan tampilan halaman belakang rumahku seperti layaknya situs penggalian artefak kuno pada pusat-pusat peradaban masa lalu.
Apapun itu, seiring berjalannya waktu, ketertarikanku pada dunia ini semakin menjadi. Pada masa remaja, sebagaimana remaja lain, aku juga mengalami transisi, dimana gejolak jiwa begitu membuncah-buncah. Pun sekian banyak pilihan pelampiasan dan penyaluran yang tersedia.
Tetapi sekali lagi, alih-alih merasa tenang ketika dapat menyatu dengan alam atau penyaluran umum lainnya, aku lebih memilih berjalan-jalan di tengah kota, untuk menikmati karya-karya arsitekur kolonial yang begitu megah. Mencoba mencari ketenangan di tengah hiruk-pikuk kota? Adalah pilihan yang cukup aneh bagi kebanyakan remaja seumurku.
Sekian banyak pertanda, anganku pun mulai terbentuk. Bahwa tanda-tanda ketertarikan yang selama ini telah mengemuka, pastilah bukan sekedar hadir tanpa sebab. Segenap anganku menyeruak, inilah yang akan mengantarkanku sampai pada keberhasilan. Anganku meyakini bahwa aku terlahir untuk dunia ini. Pun dunia ini telah sekian lama bersiap untuk menyambut kehadiranku.
‘Saya rasa, setiap manusia yang dilahirkan, telah dibekali dengan pesan tentang dunia apa yang akan menghidupinya kelak. Pesan ini bisa jadi sangat eksplisit, seperti profesi orang tua yang kemudian dipilih pula oleh sang anak, atau hanya berupa pertanda kecil dengan sinyal yang sangat lemah.’
‘Seperti apapun bentuk pesan itu, masing-masing daripadanya memiliki bobot yang sama. Sehingga tidak berarti bahwa ketika pesan tersebut datang dengan begitu jelasnya, dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah manusia-manusia yang terpilih, sehingga dapat dipastikan pula bahwa ia akan memperoleh keberhasilan. Besar arti dari pesan tersebut, adalah sangat bergantung kepada bagaimana orang itu mengartikannya. Bagaimana orang itu akhirnya tersadarkan dan sedini mungkin mengembangkannya.’
‘Sedangkan pesan yang saya dapatkan, adalah apa yang terjadi dengan masa kecil dan remaja saya tersebut. Kebetulan saya tidak terlalu terlambat menyadari pesan itu dan masih memiliki kesempatan untuk memberinya arti lebih. Pesan itulah yang mengantarkan saya untuk berada disini, dan berkisah kepada saudara-saudara sekalian.’
Bayang-bayang tentang anganku mulai meremang.
*
Berniat membukakan jalan, aku memantapkan niat untuk mengenali dan mempelajari lebih dalam tentang dunia ini. Dunia yang telah membuatku miskin mainan disaat kecil, dunia yang telah begitu kuat menyita perhatianku.
Sebuah program studi arsitektur di salah satu universitas di Malang, kota kelahiranku, menjadi tempatku menambatkan angan ini untuk pertama kalinya. Rangkaian kisah tragis itupun dimulai.
Satu fakta utama yang lambat laun semakin aku sadari, adalah bahwa sedikitpun aku tidak memiliki kemampuan untuk dapat mengalihwujudkan segala pemikiranku ke dalam bentuk gambar. Semakin aku memaksakan untuk membubuhkan garis-garis pembentuk gambar, semakin kaku tanganku bergerak. Semakin banyak aku menambahkan goresan pada setiap gambar kaku yang kubuat itu, semakin buruk pula tampilan gambar itu. Sedangkan telah terdoktrin kuat dalam benak masyarakat, bahwa keahlian gambar adalah keahlian yang mutlak harus dimiliki seorang arsitek.
Aku menolak doktrin publik itu. Aku meyakini bahwa seorang arsitek adalah lebih merupakan seorang perencana. Seorang perencana memiliki berbagai pilihan cara dan media untuk dapat mendeskripsikan rencananaya. Gambar hanyalah salah satu dari sekian banyak cara itu. Tentunya gambar juga sama sekali tidak berhak untuk dinobatkan sebagai satu-satunya cara yang absolut.
Tetapi nampaknya tidak sedikitpun ruang tersisa untuk oposisi. Korelasi antara arsitek dan gambar telah merupakan sebuah common sense yang bersifat taken for granted, sebuah nilai umum untuk diterima sebagaimana adanya. Semakin aku melawan doktrin-doktrin publik itu, semakin pula aku terkalahkan dan terpinggirkan.
Tetapi keremehan seperti ini tidak mampu menggoyahkan anganku. Keyakinan bahwa aku ada untuk dunia ini dan begitu pula sebaliknya, telah kubangun dengan begitu kokoh. Apapun dan bagaimanapun itu, toh saat ini aku sedang membangun penggal pembentuk dramatis dari kisah kehidupanku. Bukankah ketika semakin tragis kehidupan ini berlaku, semakin dramatis pula kisah itu nantinya?
‘Mungkin saya adalah satu-satunya arsitek di dunia ini yang tidak bisa menggambar. Saya meyakinkan klien-klien saya dengan sebuah proses. Proses yang memberikan pemahaman kepada mereka mengenai bagaimana kebutuhan mereka direncanakan dan akan berlaku. Saya meyakini bahwa proses seperti ini akan memberikan gambaran yang lebih riil bagi klien. Karena mereka dilibatkan dalam proses penggambaran itu sendiri.’
‘Saya tidak bisa menggambar, otomatis saya juga tidak
pernah memanipulasi klien dengan indahnya gambar saya. Sehingga tidak pula klien-klien saya merasa dikecewakan karena apa yang dihasilkan ternyata tidak sebaik ilustrasi gambar yang pernah diperlihatkan kepada mereka.’
‘Saya hanya ingin mengatakan bahwa tidak satupun dari manusia yang bisa hidup diatas indahnya secarik kertas. Atau bergelayut pada garis-garis yang tergores diatas kertas itu. Mereka hanya bisa hidup pada perwujudan angan mereka. Hari ini, saya telah membuktikan bahwa kekuatan sebuah perencanaan menjadi semakin murni tanpa adanya gambar ilustrasi.’
Mungkin seperti itu aku akan berkisah kelak.
*
Keputusanku untuk tetap bertahan pada dunia ini sebagaimana keyakinanku, akhirnya menemukan jalan keluar. Masa-masa dimana aku menempuh ilmu, bertepatan dengan masa transisi media yang digunakan untuk mempresentasikan hasil desain. Transisi dari gambar tangan, menuju komputerisasi. Transisi dari keilmuan padat karya, menuju padat tekhnologi. Layaknya masa peralihan media rekam dari piringan hitam menuju kaset yang begitu meledak, semeledak itu pulalah transisi yang sedang terjadi.
Seketika itu seluruh meja gambar dilipat dan digantikan oleh seperangkat komputer. Seketika itu orang tidak lagi mempermasalahkan mesin lengan atau rell, hanya spesifikasi komputer yang mereka bicarakan. Seketika itu proses pembelajaran tidak lagi mengenai bagaimana sang pelajar dapat menggoreskan sebuah garis panjang yang lurus tak terputus, melainkan bagaimana sang pelajar dapat menghafal sebanyak mungkin kode-kode perintah gambar yang dikenali oleh sistem perangkat lunaknya. Seketika itu pula seluruh perangkat rapido teregenerasi oleh keyboard dan mouse. Keseketikaan itulah yang menyelamatkan dan semakin memantapkanku untuk tidak beranjak dari dunia keilmuan yang telah kuyakini sebagai jalan hidupku ini.
Seluruh proses menjadi begitu dimudahkan. Goresan tanganku yang begitu kaku, tidak lagi menjadi permasalahan pelik. Karena kini, proses menggambar hanyalah sekedar proses menggerakkan mouse dan mengutak-atik keyboard. Semakin besar saja semangatku untuk dapat menguasai teknologi ini. Karena teknologi ini bukan saja dapat menggantikan buruknya kemampuan gambar tanganku, melainkan juga ada semangat kekinian dalam tekhnologi tersebut. Ada semangat modernitas yang seiring-sejalan dengan zaman.
Tetapi ternyata tidak semudah itu. Perkembangan teknologi perangkat lunak sebagai alat bantu gambar, berkembang dengan sangat pesat. Terlalu pesat untuk dapat kuikuti. Dalam sekejap, puluhan perangkat lunak beredar dengan keunggulannya masing-masing.
Belum lagi satu perangat lunak berhasil kukuasai, telah muncul puluhan lainnya. Setiap daripadanya memiliki kode perintah kerja yang sangat beragam dan tidak mampu terekam sempurna dalam ingatanku. Layaknya lembaga bantuan belajar yang masing-masing memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan sebuah soal yang sama. Bahwa angka 2 bukan hanya merupakan hasil penambahan dari dua buah angka 1. Melainkan juga merupakan setengah bagian dari angka 4 dan banyak lagi. Mustahil bagiku untuk dapat mengikuti perkembangan itu. Mungkinkah ini akhir dari perjalananku membangun angan?
Seperti telah larut dalam keyakinan anganku, sekali lagi aku berkata ‘tidak’ untuk menyerah kepada kenyataan. Pada akhirnya aku berlabuh pada keputusan untuk mendalami secara utuh akan sebuah sistem perangkat lunak. Bagaimanapun juga, sistem ini hanyalah alat bantu. Inti dari segalanya tetaplah ada pada kematangan berfikir, pada kemapanan untuk dapat menghasilkan sebuah perencanaan yang dapat menjawab segala permasalahan. Toh kisah ini baru saja bermula. Tentunya apa yang terjadi saat ini juga merupakan sebuah pembentuk kontras yang tidak akan kalah kuat.
‘Sebagai arsitek, saya tumbuh pada era serba komputer. Saya lahir bersamaan dengan hadirnya sekian banyak software presentasi desain, dengan kualitas output gambar yang sangat baik, bahkan mendekati kenyataan. Sebagai mahasiswa, tentunya saya juga tertarik untuk menguasai semuanya. Tetapi saya mencoba untuk lepas dari ketertarikan itu dan mencoba kembali kepada esensi kebutuhan. Saya hanya membutuhkan satu, maka hanya salah satu saja yang perlu saya kuasai. Bukan karena saya tidak mampu menguasai semuanya, tetapi mempelajari semuanya akan menyita waktu yang tidak sedikit. Sedangkan penguasaan terhadap software-software tersebut bukanlah merupakan inti dari keilmuan arsitektur itu sendiri. Sebagai arsitek, saya perlu mematangkan cara berfikir, perlu memapankan kemampuan perencanaan, yang juga membutuhkan banyak waktu dan konsentrasi.’
Tentunya pernyataan diatas akan sangat menginspirasi para menikmat kisah hidupku kelak. Aku juga dapat menambahkan retorika kecil sebagai penguatnya.
‘Software-software tersebut hanyalah sekedar alat bantu agar kita dapat lebih mudah mengilustrasikan sebuah desain. Intinya adalah tetap pada keberadaan desain itu sendiri. Berapapun banyaknya software yang saya kuasai, ketika saya tidak memiliki kemampuan untuk membuat sebuah desain, apakah penguasaan saya terhadap sekian banyak software tersebut akan memberikan manfaat? Hidup adalah pilihan.’
*
Tidak merasa cukup hanya dengan menimba ilmu dari sebuah institusi pendidikan, akupun berkehendak untuk sesegera mungkin masuk dalam dunia praktek. Sang rimba belantara sebenar-benarnya.
Tentunya bukan hanya sebagai pekerja atau sekedar mengerjakan maket studi milik senior, aku menghendaki lebih dari itu. Sebuah usaha berbadan hukum resmi aku dirikan. Sebagai pemula, aku tidak memberikan batas dalam lingkup kerja usahaku itu. Apapun pekerjaan itu, asalkan berbau konstruksi, kujadikan sasaran. Pada masa awal, aku menyasar pada proyek-proyek bernilai kecil terlebih dahulu. Toh usaha ini hanyalah ladang pembelajaranku.
Sebuah strategi besar kurencanakan untuk memastikan keberhasilan usaha tersebut. Tetapi langkahku kembali terhenti. Alih-alih pelajaran berharga, aku malah menemukan berbagai anomali. Anomali yang bukan hanya sekedar menghambat, melainkan begitu mematikan.
Belum lagi satu langkah berhasil kupijakkan, aku harus berkenalan dengan praktek-praktek keji kompensasi dan pungutan liar. Gejolak idealisme usiaku menolaknya. Sesaat lama aku merenung. Menimbang antara melepas nilai dan melanjutkan langkah, atau sebaliknya. Kemudian aku teringat pada iklan sebuah produk sabun mandi, ‘tidak ada kotor, tidak ada belajar’. Senyum maklum mengantarku untuk kembali melangkah.
Tetapi sayang, hanya angan yang menjadi guruku selama ini. Dalam angan, hanya ada keberhasilan. Tetapi angan, tidak memberikan jalan untuk menuju keberhasilan itu. Sepenuhnya aku sadar bahwa aku membutuhkan pasar untuk mengembangkan usahaku. Sayangnya, pasar itu tidak turun begitu saja dari langit. Mendapatkan pasar adalah buah dari serangkaian pekerjaan panjang yang melibatkan pengenalan, kejelian, jaringan, pembangunan koneksi, menciptakan kebutuhan, yang semuanya tidak dapat diwujudkan hanya dalam satu malam. Pun masyarakat menuntut adanya pengalaman untuk bisa percaya. Meskipun samar, namun jelas terlihat bahwa masyarakat juga meragukan usiaku.
Besar fikir kucurahkan atas kelanjutan usahaku ini. Namun pada akhirnya aku sampai pada keputusan untuk menyudahinya. Dunia konstruksi adalah sasaran pembelajaran yang kutuju dengan mendirikan usaha ini. Bukan pendidikan praktek diplomasi pemasaran. Kereta yang berjalan diluar sepurnya ini, tidak akan pernah berhasil mengantarkanku pada sasaran tujuku. Untuk kesekian kalinya, penggal tragis kembali terbentuk. Semakin panjang rangkaian penggal itu, semakin kuat pula kesan kontras yang ditimbulkannya.
‘Untuk memperluas wawasan saya, pada saat kuliah saya mendirikan usaha berbadan hukum resmi untuk pertama kalinya. Dan gagal. Tapi kegagalan itu sendiri hanyalah bagian kecil dari sebuah hasil. Keluasan wawasan sebagai tujuan saya, tetap berhasil saya raih. Satu hal yang paling utama adalah kesadaran saya akan keberadaan nilai-nilai dalam diri saya, yang akhirnya mengantarkan saya pada titik pijakan saya saat ini. Bahwa tahapan hidup saya banyak terakselerasi dengan pengalaman itu.’
‘Secara instan saya didorong untuk sesegera mungkin beranjak dari nilai-nilai idealis kaum muda. Dengan begitu saya memiliki starting point yang lebih awal dari teman-teman saya. Nilai lain yang saya peroleh adalah adanya keseriusan dalam diri saya untuk tidak begitu saja bergantung pada keberuntungan yang mungkin akan datang. Karena ‘mungkin akan datang’, berarti juga ‘mungkin tidak akan datang’. Semakin kecil saya memperhitungkan nilai keberuntungan itu dalam membentuk kehidupan saya, semakin besar kemungkinan bahwa kehidupan saya akan berjalan sesuai dengan apa yang saya rencanakan.’
‘Meskipun gagal, tetapi saya telah berhasil membuka mata saya tentang bagaimana sebenarnya dunia ini berlaku. Kegagalan memang menyakitkan. Tetapi bagaimana kita dapat jeli untuk mencuri nilai yang tersisa dari kegagalan tersebut, adalah suatu hasil yang lebih besar dari keberhasilan itu sendiri.’
*
Tetap bertahan pada dunia yang selalu melawanku, bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan. Sekali waktu aku merenungkan sesuatu tentang —mungkinkan ini bukan dunia yang tepat bagiku?
Sesegera mungkin aku menampik perenunganku itu. Sekian lama aku telah meyakini pertanda itu. Sekian lama pula aku telah mendedikasikan usiaku untuk menjalani dunia ini sebagai manifestasi dari keyakinanku itu. Pantang bagiku untuk berputar balik. Sudah terlalu terlambat untuk dapat kembali. Menjalani, walau bagaimanapun perjalanan itu akan berlaku, tentu jauh lebih baik.
Sekali lagi renungan itu tersamar —bijaksanalah! tidak pernah ada kata terlambat untuk segala sesuatu! Selamatkan masa depanmu! Dan aku menendang perenungan itu jauh-jauh.
Begitu susah payah aku melakoni tahap kehidupan ini. sampai pula aku pada akhir tahap pembelajaran. Tidak terlalu memuaskan memang, hanya lulus dengan nilai cukup. Tetapi aku telah dibangun dengan tempaan keras para pandai kehidupan. Tempaan itulah yang mencukupkan pembelajaranku. Tempaan itu juga yang memastikanku untuk terus maju menerjang segala aral, dalam menapaki jalan panjang kehidupan ini. Tentunya untuk mencari tahu, gerangan apa yang telah dipersiapkan kehidupan untukku di depan sana? Gerangan yang telah kubangun dengan angan selama ini.
Berniat untuk mencapai akhir angan yang begitu tinggi, aku merasa tidak cukup hanya dengan tetap berada di kota kecil ini. Harus ada perpindahan yang nyata. Perpindahan yang menjadi simbol perubahan atas segala apa yang menjadi timbal balik dari anganku. Bahwa di pijakan baru nanti, kehidupan akan menyadari kekuatan tekadku, untuk tidak menyerah begitu saja kepadanya. Segalanya tentu akan menjadi lebih baik.
‘Sempat juga saya memikirkan kemungkinan untuk menyerah. Berbesar hati mengakui bahwa saya tidak memiliki kemampuan dalam dunia ini. Tetapi saya mengatakan kepada diri saya sendiri bahwa menyerah bukanlah pilihan. Setelah sekian lama, jalan yang sangat berliku, dengan langkah yang terseok-seok, akhirnya saya lulus. Pilihan saya selanjutnya adalah hijrah ke Jakarta. Bagi saya, perpindahan itu mengandung arti dan semangat yang sangat besar. Perpindahan berarti tetap tidak menyerah. Tetapi dengan kewarasan, perpindahan juga berarti kompromi. Memilih untuk berdamai dengan kenyataan dan mencobakan peruntungan di tempat lain.’
‘Intinya adalah kita tetap memiliki tekad. Tekad itu adalah nekat yang disertai dengan akal sehat. Dengan adanya tekad, semua rintangan menjadi terasa lebih ringan. Dengan terasa lebih ringan, maka kita tidak akan mudah menyerah. Dan tidak mudah menyerah adalah kunci untuk membuka semua pintu keberhasilan. Saya, berhasil membuktikannya!’
Jakarta, aku datang!
bersambung..